Masjid Wali Loram Kulon ." Di Desa Loram Kulon,
Kecamatan Jati, Kudus,hingga kini ada tradisi Nganten Mubeng di Masjid Wali.
Tradisi ini mewajibkan para pengantin baru melewati pintu Barat dan Timur
masjid yang berupa gapura klasik batu bata merah bercorak Hindu sebagai prosesi
ijab qobul.
Mengapa mereka melaksanakan
tradisi itu? Tokoh masyarakat Desa Loram Kulon, Misbahuddin di Kudus, ketika
ditemui, Jumat (26/2), menyatakan tradisi Nganten Mubeng tersebut merupakan
upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat
dengan Allah.
Tradisi yang menjadi ciri
khas umat Islam yang tinggal di sekitar Masjid Wali, tidak terlepas dari
sejarah Masjid Wali atau At-Taqwa.
Masjid yang terletak sekitar
dua kilometer dari Jalan Raya Kudus-Semarang, didirikan pada 1596-1597 pada
masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam. Masjid ini dibangun Tjie Wie Gwan,
seorang pengembara Muslim dari Campa, China, yang mendarat di Jepara semasa
pemerintahan Ratu Kalinyamat. Waktu itu, Jepara masih di bawah Kerajaan Demak.
Seiring berjalannya waktu,
Wie Gwan yang menjadi orang kepercayaan Sultan Hadirin (suami Ratu Kalinyamat),
dipercaya menyebarkan agama Islam di Kudus. Bersama Sultan Hadirin yang juga
menantu Sunan Kudus, Wie Gwan membuat masjid dengan gapura menyerupai pura di
Bali.
Bangunan masjid yang terbuat
dari kayu jati, dilengkapi menara, sumur tempat wudlu, dan beduk. Berkat
jasanya tersebut, Ratu Kalinyamat menganugerahi Wie Gwan nama baru, Sungging
Badar Duwung.
"Sungging berarti ahli
ukir, badar itu batu, dan duwung itu tatah. Sungging Badar Duwung inilah yang
dipercaya sebagai cikal bakal seni ukir Kudus," kata juru jaga situs
Masjid Wali, Afroh Amanuddin.
Wie Gwan konon menyebarkan
ajaran Islam melalui pendekatan budaya, seperti nganten mubeng, sedekah nasi
kepel (nasi yang dibungkus daun jati), dan ampyang (kerupuk berwarna-warni yang
terbuat dari tepung) maulid.
Afroh mengatakan, pada awal
1990-an, masjid tersebut direhabilitasi karena kayu-kayu di bangunan tersebut
sudah lapuk termakan usia. Masjid yang semula berdinding papan dan berangka
kayu itu pun berubah menjadi masjid yang berdinding tembok dan berangka beton.
Cagar budaya
Meskipun begitu, gapura
masjid yang berbentuk seperti pura tetap dipertahankan. Pada 1996 Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah menetapkan gapura yang merupakan
peninggalan sejarah berusia ratusan tahun tersebut sebagai bangunan cagar
budaya.
"Selain gapura, masih
ada sejumlah peninggalan lain berupa beduk, sumur, dan ukiran Sungging Badar
Duwung. Beberapa peninggalan lain yang pernah ditemukan, seperti gentong
berbentuk kepala barongan dan tangga menara masjid, sudah tidak diketahui lagi
jejaknya," ujar Afroh.
Tak jauh dari Masjid Wali,
tepatnya di timur masjid, terdapat rumah gebyok atau rumah adat Kudus yang
dilestarikan. Rumah itu penuh dengan ukiran, beberapa bagian bangunannya
terbuat dari kayu jati.
Post a Comment